Rabu, 16 November 2011

Permasalahan Dalam Hutan Mangrove Di Kalimantan Timur

LATAR BELAKANG

Mangrove merupakan ekosistem yang khas dan terdapat di sepanjang pantai atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut dan dipercaya memiliki fungsi ekologis dan ekonomis tetapi sangat rentan terhadap kerusakan apabila kurang bijaksana dalam pengelolaannya.. Fungsi ekologis hutan mangrove adalah sebagai penyedia nutrien bagi biota perairan. Dan secara ekonomis hutan mangrove berfungsi secara langsung dan berbagai penyedia kayu bakar arang dan lain-lain.

Ekosistem mangrove pada umumnya terletak di pinggir pantai dengan ciri khas mempunyai komunitas tumbuhan tahan terhadap salinitas/kadar garam, mempunyai fungsi dan manfaat yang sangat penting, baik secara fisik, biologis maupun secara ekonomis. Berbagai tekanan seperti, penebangan liar, dan konversi hutan mangrove yang tidak terkendali menjadi areal tambak telah menyebabkan ekosistem mangrove terdegradasi. Kondisi ini didukung oleh adanya desakan untuk memenuhi keperluan hidup, terutama oleh masyarakat sekitar ekosistem mangrove. Sehingga diperlukan berbagai upaya dengan model pelestarian yang tepat guna pelestarian ekosistem mangrove.
Sejak awal tahun 1990-an fenomena degradasi bio-geofisik sumber daya pesisir semakin berkembang dan meluas akibat pemanfaatan yang berlebihan yang menyebabkan hilangnya ekosistem mangrove, terumbu karang dan estuaria yang selanjutnya dapat mengganggu lingkungan biosfer wilayah pantai dan pesisir yang memiliki peran produksi yang besar.
Sekitar 75% dari luas wilayah nasional adalah berupa lautan. Salah satu bagian terpenting dari kondisi geografis Indonesia sebagai wilayah kepulauan adalah wilayah pantai dan pesisir dengan garis pantai sepanjang 81.000 km. Wilayah pantai dan pesisir memiliki arti yang strategis karena merupakan wilayah interaksi/peralihan (interface) antara ekosistem darat dan laut yang memiliki sifat dan ciri yang unik, dan mengandung produksi biologi cukup besar serta jasa lingkungan lainnya. Kekayaan sumber daya yang dimiliki wilayah tersebut menimbulkan daya tarik bagi berbagai pihak untuk memanfaatkan secara langsung atau untuk meregulasi pemanfaatannya karena secara sektoral memberikan sumbangan yang besar dalam kegiatan ekonomi misalnya pertambangan, perikanan, kehutanan, industri, pariwisata dan lain-lain.
KASUS POSISI
Delta Mahakam terletak di Pantai Timur Pulau Kalimantan dengan luas wilayah 1.500 Km2. Delta ini berada  di Kabupaten Kutai  Kartanegara yang meliputi 5 (lima) kecamatan: Samboja, Sanga-sanga, Muara Jawa, Anggana dan Muara Badag.  Bentangan daratnya merupakan daratan delta yang khas, terdapat saluran dan sungai-sungai kecil yang terdistribusikan secara bertingkat. Delta yang berbentuk kipas ini, kebanyakan merupakan tanah endapan dengan tumbuh-tumbuhan endemic jenis bakau (Avecennia, Rhizophora dan Nypas).  
Potensi produktifitas biologi yang sangat tinggi di kawasan delta didukung oleh banyaknya bahan organic yang terbawa aliran sungai dan kemudian mengendap, menyebabkan kawasan ini jenis udang, kerang dan kepiting sangat melimpah.
Dalam beberapa tahun terakhir ini terutama sejak krisis ekonomi tahun 1997, di Delta Mahakam telah terjadi pengembangan pertambakan udang yang sangat pesat yang dikembangkan di wilayah yang sebelumnya merupakan hutan bakau. Hasil dari penebangan hutan dan pertambakan ini telah mengakibatkan beberapa persoalan penting dan terus berkembang yakni masalahan kehilangan tanah, penurunan produktifitas pertambakan, erosi pada bendungan tambak dan meningkatnya jenis penyakit udang. Perubahan fisik tersebut, telah mengancam keseimbangan ekosistem wilayah hutan bakau dan kelangsungan social-ekonomi pertambakan udang itu sendiri. 
Sekarang ini situasi di  kawasan Delta  Mahakam semakin memprihatinkan. Terjadinya perusakan lingkungan oleh berbagai macam aktivitas telah berdampak pada abrasi, erosi dan menurunnya kualitas air, menurunnya produktivitas tambak udang serta menurunnya potensi alam (migas). Adanya pemahaman bahwa kepentingan ekonomi jauh lebih dominan daripada kepentingan ekosistem dan belum menyatu dan sejalannya persepsi para pemangku kepentingan  atas kawasan Delta  Mahakam     Saat ini diketahui bahwa luas hutan mangrove di Delta Mahakam terus menyusut dan diperkirakan tinggal sekitar 30.000. ha. Itu artinya bahwa 80% dari kawasan tersebut telah berubah fungsi (Santoso, 2000).
Menurut Zuhair (1998) perubahan atau degradasi mangrove yang terjadi di Delta Mahakam terutama disebabkan oleh pembukaan untuk pembangunan jalan pipa oleh perusahaan minyak dan untuk pembuatan tambak udang, serta eksploitasi kayu untuk berbagai kepentingan.Tentu saja perubahan drastis ini telah membawa perubahan-perubahan yang berdampak luas terhadap masa depan kawasan Delta Mahakam sendiri. Diantaranya terhadap kelangsungan hidup masyarakat yang selama ini bergantung kepada Delta Mahakam, baik secara langsung maupun tidak langsung. Sebagai contoh bahwa saat ini telah terjadi penurunan produktivitas dari tambak yang ada serta  adanya indikasi kuat menurunnya hasil perikanan di sekitar Muara Mahakam.
Selain itu, bila masyarakat nelayan ingin menangkap ikan harus menempuh jarak layar yang lebih jauh dari sebelumnya. Dampak lainnya adalah intrusi air laut makin mendekati kota Samarinda terutama bila musim kemarau dan kondisi air yang makin keruh sehingga membutuhkan perlakuan yang lebih mahal untuk mendapatkan kualitas air bersih. disadari juga semakin memperparah permasalahan kawasan Delta  Mahakam.  Dalam rentang kurun waktu 12 tahun terakhir, tambak udang di Delta  Mahakam telah berkembang pesat dan menjadi sumber mata pencaharian bagi masyarakat setempat dengan konsekwensi resiko berupa pengrusakan lebih dari 50.000 hektar hutan bakau dan tegakan nipah. Selain itu, budidaya udang adalah suatu kegiatan yang sangat menguntungkan, namun sangat merusak bagi lingkungan, khususnya di wilayah Delta  sungai yang rawan, setidaknya seperti yang telah terjadi di berbagai penjuru dunia. Jika budidaya udang dirancang dengan pendekatan untuk jangka pendek, maka budidaya ini akan menjadi kegiatan yang paling merusak (lingkungan). Seperti telah banyak diketahui, siklus ledakan dan limpahan produksi udang secara besar-besaran, biasanya akan mengakibatkanhancurnya produksi itu sendiri.





RUMUSAN MASALAH
            Adapun permasalahan yang menjadi materi diskusi kami, yaitu :
1 . Temasuk dalam klasifikasi apakah hutan mangrove menurut UU No. 14 Tahun 1999?
2. Permasalahan hukum apa saja yang terdapat  dalam lingkup hutan mangrove?


ANALISIS HUKUM
Pengelolaan hutan mangrove sebenarnya sudah diatur dalam peraturan pemerintah. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, bahwa mangrove merupakan ekosistem hutan yang termasuk dalam kategori Hutan lindung, hutan lindung adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai perlindungan sistem penyangga kehidupan untuk mengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi, mencegah intrusi air laut, dan memelihara kesuburan tanah, sehingga hutan ini harus dilestarikan dan dilindungi, dan oleh karena itu dalam pasal 2, menyatakan pemerintah bertanggungjawab dalam pengelolaan yang berasaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan, keterbukaan dan keterpaduan., disebutkan dalam Pasal 43 kaitannya dengan  kondisi mangrove yang rusak, kepada setiap orang yang memiliki, pengelola dan atau memanfaatkan hutan kritis atau produksi, wajib melaksanakan rehabilitasi hutan untuk tujuan perlindungan konservasi. Dalam Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Pemerintah Propinsi, Pemerintah Pusat terbatas pada pola umum dan penyusunan rencana makro rehabilitasi hutan dan lahan. Sedangkan penyelenggaraan rehabilitasi hutan dan lahan dilakukan oleh pemerintah daerah, terutama Pemerintah Kabupaten/Kota, kecuali di kawasan hutan konservasi masih menjadi kewenangan Pemerintah Pusat. Selain itu, pemerintah harus mempertahankan kondisi mangrove yang masih ada dengan menghentikan perizinan yang bertujuan mengkonversikan hutan mangrove menjadi bentuk lain seperti tambak, pertanian, HPH, industri, pemukiman dan sebagainya
1.         Permasalahan pertama yang kami liat disini yakni adanya tumpang tindih kewenangan dalam pengelolaan hutan mangrove antara pihak dinas kehutanan dan dinas perikanan dan kelautan.
kembali merujuk pada peraturan perundang-undangan dlam bidang kehutanan, dalam pasal 50 Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang larangan untuk merusak hutan, salah satunya adalah Setiap orang dilarang: Melakukan penebangan pohon dalam kawasan hutan dengan radius atau jarak sampai dengan:1). 500 (lima ratus) meter dari tepi waduk atau danau; 2). 200 (dua ratus) meter dari tepi mata air dan kiri kanan sungai di daerah rawa; 3). 100 (seratus) meter dari kiri kanan tepi sungai; 4). 50 (lima puluh) meter dari kiri kanan tepi anak sungai; 5). 2 (dua) kali kedalaman jurang dari tepi jurang; dan 6). 130 (seratus tiga puluh) kali selisih pasang tertinggi dan pasang terendah dari tepi pantai.
Dalam peraturan perundangan tersebut sangat jelas, bahwa Hutan Mangrove adalah kawasan kehutanan yang harus di lindungi dan dilestarikan. Oleh karena itu, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 yang dipertegas dalam Keppres Nomor 32 Tahun 1990 mengamanatkan bahwa dinas Kehutanan, mendapat kewenangan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove di perairan dalam hal ini dalam kawasaan delta mahakam.
Namun demikian, disektor lain, seperti sektor perikanan, dalam hal ini Dinas Perikanan dan Kelautan, mengacu pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2004 Tentang Perikanan, bahwa wilayah pengelolaan perikanan Republik Indonesia untuk penangkapan ikan atau pembudiyaan ikan meliputi sungai, danau, waduk, rawa dan genangan air lainnya yang dapat diusahakan serta lahan pembudidayaan ikan yang potensial di wilayah Republik Indonesia. Oleh karenanya, hutan mangrove yang merupakan daerah genangan air yang sangat potensial untuk perikanan, oleh sektor perikanan (Dinas Kelautan dan Perikanan) dapat memanfaatkannya sebagai area untuk dijadikan budidaya perikanan, yakni sebagai area tambak ikan. Hasilnya, daerah hutan mangrove pun mulai berkurang.
Dari permasalahan tumpang tindih kewenangan dan peraturan tersebut diatas, masing-masing sektoral memiliki aturan hukum sendiri-sendiri, sehingga setiap sektor juga memiliki kewenangannya sendiri-sendiri. Disatu sisi, Sektor kehutanan memiliki kewenangan untuk menjaga kelestarian hutan mangrove, jika tidak dilanggar, sanksi yang termuat dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 pun sangat jelas yakni Barangsiapa yang secara melawan hukum dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan/atau perusakan lingkungan hidup, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp.500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah). Akan tetapi, disisi lain kawasan di delta mahakam adalah daerah dengan kawasan perairan, sehingga mata pencaharian masyarakat sekitar sebagian besar adalah nelayan atau bergantung pada area perairan/perikanan.

Yang kedua adalah mengenai kurangnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai Hutan Mangrove. Pengelolaan hutan mangrove pada dasarnya meliputi proteksi, konservasi, dan pemanfaatan, rehabilitasi, serta pengawasan dan penegakan hukum yang diatur dalam undang-undang, peraturan, dan ketentuan. Dari sekian 20 buah aturan dan ketentuan, mulai dari Undang-undang, Peraturan Pemerintah, sampai kepada Perda, hanya terdapat dua peraturan yang langsung berkaitan dengan pengelolaan hutan mangrove, yaitu Instruksi Menpan No.13/Ins/Um/7/1975 tentang Peminaan Hutan Bakau dan Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 26/1997 tentang Penetapan Jalur Hijau Hutan Mangrove.

Ketentuan mengenai proteksi hutan mangrove semuanya didasarkan atas ketentuan tentang perlindungan hutan yang berlaku di darat, misalnya UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya, PP No. 28 tentang Perlindungan Hutan, Keppres No. 32/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, dan Instruksi Mendagri No. 34/1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung di Daerah, Peraturan dan ketentuan mengenai proteksi hutan lumayan banyak, tetapi peraturan dan ketentuan mengenai konservasi dan pemanfaatan dinilai agak kurang. Apalagi peraturan dan ketentuan mengenai rehabilitasi, pengawasan, dan penegakan hukun di wilayah hutan mangrove dapat dapat dikatakan belum ada. Lemahnya sistem pengelolaaan hutan mangrove yang berlaku sekarang diperkirakan merupakan penyebab utama terjadinya degradasi hutan mangrove di sepanjang pesisir Kaltim.

Ada beberapa hal penting lainnya yang dapat dilaksanakan dalam upaya pelestarian hutan  mangrove, yaitu:
1.       Mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat.
2.       Perlu adanya peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah.

Seperti kita ketahui bersama, tambak tradisional yang telah dikembangkan selama berabad-abad silam tidak terlalu menjadi hal yang merisaukan dari segi lingkungan karena menggunakan vegetasi mangrove sebagai bagian dari sistem. Hal ini merupakan suatu bentuk kearifan lokal yang patut dijadikan orientasi dalam pelestarian hutan mangrove. Untuk pengembangan teknologi yang berorientasi pada tradisi masyarakat perlu kiranya dilakukan penelitian-penelitian seputar kawasan hutan mangrove yang melibatkan masyarakat pesisir. Untuk itu perlu adanya peran aktif para peneliti baik dari civitas akademika maupun dari lembaga-lembaga penelitian pemerintah dan swasta. Selain itu peran serta pemerintah sebagai fasilitator sangat diharapkan sehingga akan memperlancar terlaksananya berbagai riset yang berhubungan dengan upaya pelestarian hutan mangrove.

Peraturan-peraturan daerah mengenai perlindungan kawasan hutan mangrove merupakan hal yang penting sebagai pengontrol kegiatan masyarakat di kawasan tersebut untuk mengatur pengelolaan sumber daya alam dan lingkungan. Sebagai contoh Peraturan Daerah Kota Tarakan nomor 04 tahun 2002 tentang Larangan dan Pengawasan Hutan Mangrove di kota Tarakan yang mengatur fungsi dan peran hutan mangrove, hak dan tanggung jawab masyarakat,  larangan, pengawasan serta sanksi bagi perusak ekosistem hutan mangrove.





KESIMPULAN

1.       Dari permasalahan tumpang tindih kewenangan dan peraturan tersebut  diatas, masing-masing sektoral memiliki aturan hukum sendiri-sendiri, sehingga setiap sektor juga memiliki kewenangannya sendiri-sendiri
2.       Ada beberapa hal penting lainnya yang dapat dilaksanakan dalam upaya pelestarian hutan  mangrove, yaitu:
1.        Mengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tepat guna yang mengkombinasikan antara teori dengan pengetahuan tradisional yang sudah terbentuk sebelumnya yang lebih mudah diterima dan dikembangkan sesuai dengan keadaan setempat.
2.        Perlu adanya peraturan-peraturan tertulis mengenai tanggung jawab pemerintah dan masyarakat akan kelangsungan ekosistem hutan mangrove berupa peraturan daerah.


SARAN
           
            Selain itu Perda tentang RTRW (Rencana Tata Ruang Wilayah) harus segera dibentuk. Hal ini bertujuan untuk mengarahkan pembangunan di wilayah Kalimantan Timur dengan memanfaatkan ruang wilayah secara berdaya guna, berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan berkelanjutan. Salah satunya dengan menetapkan kawasan lindung laut lokal yang didalamnya termasuk hutan mangrove harus dilindungi. Penetapan lokasi ini sangat penting karena berkaitan dengan  wilayah hutan mangrove mana yang harus dilindungi dan dilestarikan. Karena apabila perda ini memuat hal yang demikian maka akan jelas batasan antara kewenangan dinas perikanan dan kelautan dengan dinas kehutanan. Dengan demikian penegakan terhadap pelanggaran dalam hal ini makin mudah dijalankan. Karena memiliki dasar hukum yang tetap.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar